Sabtu, 24 Desember 2011
Kamis, 22 Desember 2011
قيمة الحب
قيمة الحب
قد تبين لنا ان للحب قيمة كبيرة و عالية في حياة الانسان
و قد يكون الحب سببا لسقوط درجة الانسان عند الله تعالى.
اما الانسان اذا احب شيئا اعظم من حبه الى الله تعالى كان مذموما عند اهل السماوات و الارض و يستحق له العذاب.
و العكس ذالك, اذا كان حبه الى الله تعالى اعظم من حبه لكل شيء كان محبوبا عند كل مخلوقات في الاض و السماء.
اما اعظم قيمته هو سعادة الانسان و سروره و فرحه في كل حياته اليومية.
Minggu, 23 Oktober 2011
الشفاعة
مؤلف : حمدان
Syafaat dalam Perspektif Islam
Secara etimologi syafaat berasal dari kata شَفْعًا , _ يَشْفَعُ _ شَفَعَ [1] yang berarti pembela, penolong. Dan adapun secara etimologi syafaat berarti orang yang mendapatkan pertolongan dengan perantara orang yang diterima syafaatnya. Tak dapat kita pungkiri bahwa mayoritas umat islam sepakat bahwa syafaat berlaku di hari kiamat dan akan diberikan kepada kaum mukminin. Akan tetapi, terdapat khilafiah diantara mereka mengenai seberapa luas makna syafaat ini. Dan tak dapat dipungkiri juga bahwa dibalik khilafiah tersebut mereka sama dalam memahami bahwa syafaat akan bermamfaat untuk menghindarkan seseorang dari bahaya dan siksa neraka.
Pertama: Perspektif Syiah dalam memaknai Syafaat
1. Imam Ali bin Musa ar-Ridha meriwayatkan dari Amirul mu`minin as: “Siapa yang telah mendustakan syafaat Rasulullah, maka syafaat beliau tidak akan menghampirinya.”[2]
Syeikh Mufid, Muhammad bin Nu’man Al-‘Akbari (wafat tahun 413 H) mengatakan bahwa, Syi’ah Imamiyyah bersepakat bahwa Rasulullah kelak di hari kiamat akan memberikan syafaatnya kepada sekelompok orang dari umatnya yang mengakui adanya syafaat dihari kiamat nanti.
2. Imam Ali as berkata: “Ketahuilah bahwa al-Qur`an diterima syafaatnya dan dibenarkan perkataannya. Siapa yang disyafaati al-Qur`an pada hari kiamat, maka berkat al-Qur`an lah ia mendapatkan syafaat.” [3]
3. Dalam kitab al-Amali karya Syekh Shaduq, diriwayatkan dari Ibnu Babuwaih al-Qummi dari Muhammad bin Ali Majiluwaih dari pamannya, Muhammad bin Abul qasim dari Ahmad bin Abu Abdillah Albu`qi dari Ali bn Husain al-Barqi dari Abdullah bin Jabalah dari Muawiyah bin Ammar dari Hasan bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya, Hasan bin Ali; Rasulullah saw bersabda: “Syafaat adalah untuk para pelaku dosa besar dari umatku.” [4]
Allamah Syeikh Muhammad Baqir Al-Majlisi (wafat tahun 1110 H) mengatakan, “Ketahuilah, bahwa syafaat adalah satu hal yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai masalah yang prinsipil dalam agama Islam. Mereka bersepakat bahwa Rasulullah Saw di hari kiamat nanti akan memberikan syafaat kepada umatnya, bahkan umat-umat yang lain.
Kedua: Perspektif Ahl-Sunnah dalam memaknai Syafaat
1. Abu Mansur Al-Maturidi Al-Samarqandi (wafat tahun 333 H) bersandar pada ayat
ولا يشفعون إلاّ لمن ارتضى
..dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah,..” al-Anbiya(21):[28].
يَعْلَمُ ما بَيْنَ أَيْديهِمْ وَما خَلْفَهُمْ وَلا يَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضى وَ هُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Artinya : “Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan dan di belakang mereka (malaikat), dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” Al-anbiya (21):[28]
Nashiruddin Ahmad bin Muhammad bin Al-Munir Al-Iskandari Al-Maliki menulis, “Mereka yang mengingkari syafaat sangat layak untuk tidak menerimanya di hari kiamat nanti. Sedangkan yang percaya dan meyakininya, yaitu kelompok Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, mereka adalah orang-orang yang selalu berharap akan rahmat Allah. Mereka percaya bahwa syafaat bisa diberikan kepada orang-orang mukmin yang telah melakukan dosa, dan syafaat ini adalah hak Nabi Muhammad Saw yang disimpan untuk mereka…” [5]
2. Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya meriwayatkan; Rasulullah saw bersabda: “Diperkenankan bagi para malaikat, para nabi dan syuhada untuk memberi syafaat. Maka mereka mensyafaati, dan mereka mengeluarkan siapa yang ada setitik iman di hatinya, dari api neraka.” [6]
3. Fakhrur Razi [7] mengatakan: “Umat Islam sepakat bahwa Nabi saw akan memberi syafaat pada hari kiamat. Kaum Mu’tazilah mempunyai penafsiran lain soal syafaat dan mereka mengatakan: “Yang dimaksud syafaat Nabi ialah bahwa pada hari itu, syafaat beliau meninggikan pahala orang-orang saleh, dan bukan berarti membebaskan para pendosa dari azab.” Tetapi yang benar adalah bahwa seluruh kelompok Islam selain kelompok itu, mengatakan: makna syafaat ialah membebaskan para pendosa dari siksaan api neraka hingga mereka tidak masuk neraka. Mereka yang disiksa dalam api neraka, berkat syafaat Nabi mereka keluar dari api neraka dan masuk surga.” [8]
Dari telaah sebagian kecil pandangan kelompok-kelompok dalam Islam, terdapat hal yang menjadi perbedaan terkait soal siapa yang diberi syafaat. Kelompok-kelompok tersebut terbagi pada dua golongan:
1. Mu’tazilah mengatakan bahwa yang disyafaati adalah para kekasih Allah, dan syafaat berlaku untuk pengangkatan derajat mereka. Sebagaimana yang dikatakan Syekh Abu Imran dalam kitabnya: “Para pendosa tidak akan memperoleh syafaat. [9] Dan pandangan Murjiah yang didasari bahwa syafaat adalah perkara yang mungkin, yang dapat mencegah para pendosa dari masuk neraka, tidaklah benar.” [10]
2. Syiah dan Asy’ariah mengatakan bahwa yang disyafaati adalah orang yang berdosa, dan syafaat berlaku baginya bahwa dosanya diampuni dan ia selamat dari siksaan.
Disisi lain, Sayid Murtadha mengatakan: “Seluruh muslimin mempercayai syafaat Nabi. Tetapi soal siapa yang akan disyafaati, terdapat dua kelompok mengenainya:
1-Mu’tazilah, kaum Khawarij dan Zaidiyah, bahwa: syafaat berlaku hanya bagi orang-orang yang bertaubat sebelum mati dan tidak berbuat dosa. [11]
2- Murjiah, Syiah dan Asy’ariah, bahwa: syafaat berlaku bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan. Dengan syafaat mereka terlepas dari siksaan.” [12]
Ayatullah Subhani juga mengatakan: “Syiah Imamiyah dan Asya’irah meyakini bahwa kekal dalam neraka adalah bagi kaum kafir. Sedangkan orang-orang Islam yang berdosa, setelah sekian masa keluar dari neraka menuju surga. Sementara pandangan Mu’tazilah bahwa kekal dalam neraka diperuntukkan kaum kafir dan orang-orang Islam pelaku dosa-dosa besar yang tidak bertaubat. Dalam hal ini mereka bersandar pada sejumlah ayat yang jika diperhatikan apa yang terkandung di dalamnya, argumentasi mereka jelas sekali lemah.” [13]
Kedua: Selayang pandang Seputar Masalah Syafaat
Pada fitrah-nya manusia menginginkan sesuatu yang indah-indah dan membahagiakan, baik didunia, demikian juga hal-nya kelak dihari perhitungan. Oleh karena-nya, kita tidak dapat pungkiri bahwa setiap Af’al seseorang akan ada konsekuen-nya baik atau-pun buruk hal itu. Dan pelaku dosa besar, akan mendapatkan konsekuensi yang berupa bahaya yang akan menjarahnya. Bahaya disini adalah sebuah penderitaan, anarkisme dan kekerasan. Dan hal ini bertolak belakang dengan fitrah kemanusiaan, dan sifat rahman dan rahim Tuhan itu sendiri, maha suci Tuhan dari hal itu. Dan hal ini juga selaras dengan makna syafaat yang akan diperoleh di hari kiamat nanti, bahwa kaum mukminin akan mendapatkan pertolongan dari Rasulullah Saw. Dengan diterimanya syafaat tersebut oleh Allah, seseorang tersebut akan mendapatkan karunia, serta terhindar dari bahaya.
Sanggahan
Sekiranya kita melihat bahwa dosa yang diperbuat oleh seorang mukmin sama dengan dosa yang diperbuat oleh orang kafir. Sedangkan pahala atau siksa Allah diberikan kepada hamba-Nya karena perbuatan yang ia lakukan. Dimana sebelunya kita temukan bahwa dengan perantaraan syafaat, seorang mukmin yang telah berbuat dosa akan terbebas dari siksa, sedangkan orang kafir tidak akan selamat, maka hal tersebut menurut kami bertentangan dengan keadilan Allah. Hal ini dapat kita sebut dengan “problem dualisme konsekuensi untuk satu dosa”.[14]
Jawaban
Ada dua permasalahan yang harus kita jelaskan di sini. Pertama, apakah dosa yang dilakukan oleh seorang mukmin sama dengan yang dilakukan oleh orang kafir? Kedua, apakah dengan diterimanya syafaat Nabi Saw kepada seorang mukmin yang berdosa padahal orang kafir yang melakukan hal sama tidak berhak mendapatkannya, hal itu berarti Musytarâk lafzȋ [15] dalam pembalasan ataukah tidak?
Jelas bahwa sebuah dosa, siapapun pelakunya, adalah sebuah hal tercela dan pelakunya pantas untuk mendapat siksa. Sebagaimana halnya perbuatan baik, siapapun pelakunya, adalah hal terpuji dan pelakunya berhak untuk mendapatkan pahala. Jika tidak demikian tidak ada lagi perbedaan antara orang yang baik dan orang yang berdosa.
Hanya saja, Allah membedakan antara dosa yang mereka lakukan, di sini pembicaraan kita mengenai masalah dosa yang dilakukan oleh orang mukmin dengan yang dilakukan oleh orang kafir. Allah memberikan kesempatan bagi orang mukmin yang berdosa untuk mendapatkan syafaat sebagaimana juga membuka pintu taubat baginya. Di saat yang sama orang kafir bisa mendapatkan dua kesempatan tersebut dengan syarat harus terlebih dahulu beriman kepada-Nya. Sama halnya dengan kebajikan yang mereka lakukan. Selagi mereka belum beriman, seluruh amal kebajikannya tidak akan dibalas dengan pahala sama sekali, sebagaimana dalam hadits disebutkan,
Imam Shadiq as berkata: “Siapa yang menipu seorang muslim dalam jual-beli bukanlah dari golongan kami, dan pada hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama kaum Yahudi karena mereka adalah orang-orang yang paling penipu terhadap kaum muslimin.” [16]
Kebohongan yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan yang dilakukan oleh orang kafir bisa saja sama, tetapi dalam hukumnya tetap berbeda. Perbedaan hukum ini telah dijelaskan oleh Sang Pembuat Syariat, Allah Swt. Dia juga menjelaskan bahwa hukum orang mukmin berbeda dengan hukum orang kafir.
Rasulullah saw bersabda: “Syafaat tidak berlaku bagi kaum yang dalam keraguan, kaum syirik, kaum kafir dan pembangkang. Tetapi syafaatku adalah untuk kaum beriman yang bertauhid.” [17]
Sebenarnya, kritik ini berasal dari anggapan bahwa dosa kedua orang tadi sama. Padahal seperti yang telah kami jelaskan, meskipun secara lahiriah keduanya sama, akan tetapi dari sisi hukumnya berbeda dan yang menentukan perbedaan tersebut adalah Allah. Al-Qur’an Al-Karim melalui ayat-ayat sucinya membagi umat manusia di hari kiamat nanti ke dalam beberapa kelompok, diantaranya, kelompok mukminin dan kelompok kafirin.[18]
KESIMPULAN
Sebagaimana kita saksikan saat ini mayoritas manusia, dan islam pada khususnya mengharapkan pertolongan yang kelak akan menjauhkan dia dari mara bahaya. Dimana konsep syafaat dalam hal ini merupakan hal yang sangat urgen dalam mentolerir ketakutan-ketakutan manusia, tapi tidak serta merta, ketika seseorang kita meyakini adanya syafaat lalu kemudian dia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan syariat, dan menjadi ajang kebebasan untuk bermaksiat. Akan tetapi hal tersebut menjadi pelajaran yang mengantarkan kita untuk senantiasa bersyukur akan sifat Lutuf Allah. Melalui tulisan kecil ini kita dapat simpulkan bahwa mayoritas ulama islam sepakat akan adanya syafaat di hari perhitungan kelak. Meski demikian yang menjadi permasalahan terletak pada siapa yang berhak memberi dan menerima syafaat tersebut.
PENUTUP
Melalui kajian singkat ini setidaknya kita dapat melihat –meskipun tidak secara terperinci- bahwa secara garis besar memang ada persamaan antara Ahl al-Sunnah dan Syiah Imamiyah secara khusus dalam proses melakukan telaah terhadap sunnah, hadits-hadits, khususnya berkeanaan dengan masalah syafaat. Meski kemudian dalam penerapannya terdapat perbedaan antara keduanya. Sebagai contoh, jika Ahl al-Sunnah sejak awal menjadikan sanad sebagai salah satu pijakan utama dalam menerima hadits, maka Syiah justru bersandar pada para maksumin as. Bahkan, seperti diakui oleh mayoritas ulama itu sendiri adalah perhatian terhadap sanad itu muncul karena hal itu sangat penting. Dan bukan sekedar untuk memunculkan ‘pembelaan’ di hadapan majelis khilafiah.
[1] Al-Munawwir, hal 729
[2] Bihar al-Anwar jus 8, hal 41; jus 2, hal 117
[3] Nahjul balagha, khutbah 176
[4] Kitab al-Amali, hal 194
[5] Kitab al-Intishaf
[6] Musnad Ibn Hanbal, juz 5, hal 43
[7] Tokoh besar Asy’ari
[8] Tafsir al-Kabir, jus 3, hal 51
[9] Mas’aleh-e Iktiyar dar Tafakkure Islami wa Pasukhe Mu’tazileh be on, -terjemahan Ismail S’adat, hal 354
[10] Ibid 9
[11] Syarh Jumal al-‘Ilm wa al-‘Amal, hal 156
[12] Ibid 11
[13] Farhange Aqaed wa Mazaheb Islam, hal 175
[14] Ebook
[15] Ilm Mantiq,fi anwa’ al-lafz, hal 20. Abdl Hadi fadl
[16] Kitab Wasail Syiah, jus 12 hal 210
[17] Biharul anwar, juz 8, hal 58
[18] Al-Qur’an
التكتف
مؤلف : سلامة
Kajian Takatuf
Takattuf atau bersedekap yaitu meletakan tangan di dada dalam shalat.Dalam hal ini madzhab Imamiyah maupun Ahlu Sunnah terjadi perbedaan pendapat yang tajam. Satu sama lain menguraikan makna Takattuf (sedekap) berdasarkan ijtihadnya masing-masing. Mari kita simak beberapa pandangan imam-imam madzhab dibawah ini;
Mazhab Hanafi mengatakan, " Bersedekap itu hukumnya sunah, bukan wajib. Yang terutama bagi laki-laki adalah meletakkan telapak tangan di atas punggung tangan kiri dan ditempatkan di bawah pusar.Sedangkan bagi perempuan adalah meletakkan kedua tangannya di atas dada." (Fiqh ‘Alaa Madzahib al-Arba’ah”, juz 1, kitab “Sholat”, bab “Sunan al-Sholat)
Mazhab asy-Syafi'i mengatakan, " Hal itu disunahkan bagi laki- laki dan perempuan. Yang paling utama adalah meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan ditempatkan di antara dada dan pusar, dan agak bergeser ke arah kiri."
Mazhab Hanbali mengatakan, " Hal itu adalah sunah. Yang paling utama adalah meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri, dan ditempatkan di bahwa pusar."
Mazhab Maliki mengatakan, " Hal itu boleh dilakukan. Akan tetapi, di dalam salat fardu disunahkan meluruskan tangan (ke bawah) ." (bisa dilihat dari buku Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusdy Al-Qurthubi Al-Maliki)
Mazhab Jafari, yang termasyhur di kalangan mereka memandang bahwa bersedekap itu haram dan membatalkan shalat. Sebagian mereka mengatakan, " Bersedekap itu haram tetapi tidak membatalkan shalat." Sementara kelompok ketiga, seperti al-Halabi, mengatakan bahwa bersedekap itu makruh.
Diriwayatkan,seorang laki-laki berkata kepada Abi Ja’far as.:
قلت له:(فصل لربك وانحر). قال: النحر الإعتدال فى القبام ان يقيم صلبه, و قال: لا تكفر(اي لاتضع اليمنى على اليسرى)انما يصنع ذلك المجوس
Saya berkata kepadanya; " فصل لربك وانحر " Abi Ja’far berkata; “An-Nakhr, artinya tegak berdiri,yaitu menegakkan punggungnya. Jangan bersedekap!.Karena yang bersedekap itu adalah Majusi”.
قلت له:(فصل لربك وانحر). قال: النحر الإعتدال فى القبام ان يقيم صلبه, و قال: لا تكفر(اي لاتضع اليمنى على اليسرى)انما يصنع ذلك المجوس
Saya berkata kepadanya; " فصل لربك وانحر " Abi Ja’far berkata; “An-Nakhr, artinya tegak berdiri,yaitu menegakkan punggungnya. Jangan bersedekap!.Karena yang bersedekap itu adalah Majusi”.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Muslim;
قلت له الرجل يضع يده فى الصلاة اليمنى على اليسرى. فقال: ذلك التكفير(أي وضع اليمنى على اليسرى)لاتفعله"
Berkata Rajul kepada Abi Ja’far; “Meletakan tangan kanan diatas tangan kiri”.Beliau berkata; “Itulah Takfir.Jangan kau lakukan itu!”.
Hadis-hadis yang mereka jadikan dalil bahwa bersedekap adalah sunah, tidak cukup untuk membuktikannnya sebagai sesuatu yang di-sunahkan.Berikut ini adalah hadis-hadis yang mereka jadikan dalil bahwa hal itu merupakan sesuatu yang disunahkan padahal menurut para imam ahlulbait hal itu adalah bid'ah.
Yang mungkin dijadikan dalil bahwa bersedekap itu merupakan sunah dalam shalat tidak lepas dari tiga riwayat berikut:
1. Hadis dari Sahal bin Sa'ad yang diriwayatkan al-Bukhari
2. Hadis dari wa 'il bin Hujur yang diriwayatkan Muslim. Al- Baihaqi menukilnya melalui tiga sanad
3. Hadis dari 'Abdullah bin Mas'ud yang diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan-nya.Berikut ini kami ketengahkan kepada Anda kajian terhadap masing-masing hadist di atas.
1. Hadis dari Sahal bin Sa'ad yang diriwayatkan al-Bukhari.
“ Orang-orang diperintahkan agar seseorang yang sholat hendaknya meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya . “ (Shohih Bukhari, jilid 1, kitab “Sifatu al-Shalat”, bab “Wadh’u al-Yumna ‘Alaa al-Yusra”)
Isma 'il berkata, " Hal itu dinisbatkan (yumna) , bukan ia menisbatkan (yamni) ." (Ibnu Hajar, Fath Al-Bârî, 2/334)
Riwayat tersebut menjelaskan tata cara bersedekap. Namun, yang menjadi persoalan adalah periwayatannya dari Nabi saw. Hadis itu tidak bisa dijadikan dalil karena dua alasan berikut:
Dari riwayat ini, terlihat bahwa perintah bersedekap tersebut belum tentu berasal dari Nabi saw. Sebagian ulama, yang mendukung hadits ini, hanya menganggapnya dari Nabi saww. Oleh karena itu, tidak heran bila sebagian ulama lainnya menganggap hadits tersebut cacat. Karenanya timbul pertanyaan, kalau hadits tersebut dari Nabi mestinya menggunakan kalimat : “Nabi memerintahkan”, bukan “Orang-orang diperintahkan”. Sehingga, mungkin saja hukum tersebut diperintahkan oleh khalifah, atau yang lain, setelah wafatnya Nabi saww.
2. Hadis dari Wa.il binHujur
“ Orang-orang diperintahkan agar seseorang yang sholat hendaknya meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya . “ (Shohih Bukhari, jilid 1, kitab “Sifatu al-Shalat”, bab “Wadh’u al-Yumna ‘Alaa al-Yusra”)
Isma 'il berkata, " Hal itu dinisbatkan (yumna) , bukan ia menisbatkan (yamni) ." (Ibnu Hajar, Fath Al-Bârî, 2/334)
Riwayat tersebut menjelaskan tata cara bersedekap. Namun, yang menjadi persoalan adalah periwayatannya dari Nabi saw. Hadis itu tidak bisa dijadikan dalil karena dua alasan berikut:
Dari riwayat ini, terlihat bahwa perintah bersedekap tersebut belum tentu berasal dari Nabi saw. Sebagian ulama, yang mendukung hadits ini, hanya menganggapnya dari Nabi saww. Oleh karena itu, tidak heran bila sebagian ulama lainnya menganggap hadits tersebut cacat. Karenanya timbul pertanyaan, kalau hadits tersebut dari Nabi mestinya menggunakan kalimat : “Nabi memerintahkan”, bukan “Orang-orang diperintahkan”. Sehingga, mungkin saja hukum tersebut diperintahkan oleh khalifah, atau yang lain, setelah wafatnya Nabi saww.
2. Hadis dari Wa.il binHujur
A. Muslim meriwayatkan dari wa'il bin Hujur bahwa ia melihat Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika memulai salat sambil bertakbir. Lalu beliau berselimut dengan pakaiannya.Kemudian beliau bersedekap. Ketika hendak rukuk, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya, kemudian mengangkatnya sambil bertakbir, dan rukuk (Musnad Ahmad, jilid 4, hadits Wa’il bin Hujur; Shohih Muslim, Jilid 1, kitab “Al-Sholat”)
Dalil yang digunakannya adalah dalil perbuatan sedangkan dalil Perbuatan itu tidak bisa dijadikan dalil kecuali diketahui maksudnya.Padahal, perbuatan tersebut tidak jelas tujuannya karena lahiriah hadis itu menyebutkan bahwa Nabi saw menyambungkan ujung-ujung bajunya, lalu ditutupkan pada dadanya dan bersedekap. Apakah perbuatan itu dimaksudkan agar menjadi sunah dalam salat?Apakah beliau melakukannya semata-mata agar pakaian itu tidak lepas.Atau apakah beliau melekatkan pakaian itu pada badannya hanya untuk menjaga dirinya dari hawa dingin?Perbuatan itu tidak jelas maksudnya. Karenanya perbuatan itu tidak bisa dijadikan dalil
Nabi saw telah melaksanakan shalat bersama kaum Muhajirin dan Anshar selama lebih dari sepuluh tahun. Kalau hal itu ter- bukti datang dari Nabi saw tentu akan banyak periwayatan dan tersebar luas, dan niscaya periwayatannya tidak hanya terbatas pada wa 'il bin Hujur saja. Oleh karena itu, periwayatan oleh wa'il bin Hujur memunculkan dua kemungkinan itu.
Memang terdapat periwayatan hadis yang sama melalui sanad yang lain, tetapi tanpa menyebutkan kalimat " Kemudian beliau menyelimutkan pakaiannya ". Tetapi ternyata ada juga yang ditolak oleh sebagian ulama Ahlusunnah, seperti hadits dari Qubaishah bin Halb; yang mana ia dinilai majhul (orang yang tidak dikenal) oleh Ibn Madini dan Nasa’i, karena memang tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya, kecuali Simak bin Harb (Al-Syaukani, “Nailul Authar”, jilid 2, kitab “Sifatu al-Sholat”, bab “Maa Ja’a fi Wadh’i al-Yamin ‘Alaa al-Syimal”.)
B. Al-Baihaqi meriwayatkan hadis itu melalui sanadnya dari Musa bin ‘Umair: Menyampaikan kepada kami ‘Alqamah bin wa'il dari bapaknya bahwa Nabi saw, ketika berdiri dalam salat, menyedekapkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Saya juga melihat ‘Alqamah melakukannya.Ka1au masalah ini berputar di antara orang-orang yang suka melebih-lebihkan dan yang suka mengurangi, maka yang kedua yang dipilih. Cermatilah hal ini seperti kajian pada bagian pertama, maka akan tampak bahwa maksud perbuatan itu tidak je1as.
Padahal, kalau Nabi saw terus-menerus melakukan perbuatan tersebut, pastilah hal itu diketahui oleh masyarakat luas. Sedarigkan kalimat "Saya melihat ‘Alqamah melakulkannya " menunjukkan bahwa perawi tersebut mempelajari sunah itu darinya.
3. Hadis dari 'Abdullah bin Mas'ud yang diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan-nya
Baihaqi, Nasa’i, Ibn Majah, dan Abu Daud meriwayatkan hadits dari Ibn Mas’ud, yang mengatakan bahwa ia melaksanakan sholat dengan menyedekapkan tangan kiri di atas tangan kanannya. Dan ketika Nabi (saw) melihatnya, maka ia menyedekapkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Sunan Abu Dawud, juz 1, kitab “Al-Sholat”, bab “Wadh’u al-Yumna ‘Alaa al-Yusra fi al-Sholat”).
Aneh sekali. Seorang sahabat terkenal dan terpelajar, seperti Abdullah bin Mas’ud, tidak mengetahui cara menyedekapkan tangan dalam sholat. Apalagi ia termasuk orang-orang awal yang masuk Islam. Terlebih lagi, pada rangkaian sanad hadits ini terdapat Husyaim bin Basyir, yang telah dikenal sebagai mudallis (pemalsu) hadits (Al-Dzahabi, “Siyar A’lami Nubala”, jilid 8, hal. 289-291).
Selain semua pembahasan di atas, sebenarnya terdapat juga hadits-hadits yang justru menyatakan kemestian untuk meluruskan tangan saat sholat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mundzir, Al-Nawawi, Ibnu al-Qasim, dan Al-Mahdi (dalam kitabnya “Al-Bahr”).Sementara, Ibn Sayyidin Nas mengutip dari Al-Auza’i, yang memperbolehkan untuk memilih sedekap atau meluruskan tangan. (Al-Syaukani, “Nailul Authar”, jilid 2, kitab “Sifatu al-Sholat”, bab “Maa Ja’a fi Wadh’i al-Yamin ‘Alaa al-Syimal”).
Kesimpulan dari topic pembahasan ini adalah sebagai berikut
Ø Mazhab Hanafi,Asy-Syafi’I dan Hambali mensunnahkan takatuf dengan dalil yang kurang jelas dari mana sumbernya.
Ø Mazhab Maliki menghukumi bahwasannya takatuf itu hukumnya Mubah untuk shalat sunnah dan Mensunnahkan meluruskan tangan untuk shalat Fardhu.
Ø Mazhab Jafari menghukumi bahwasannya takatuf itu dapat membatalkan shalat.
Dengan adanya berbagai macam pendapat soal takatuf ada yang mensunnahkan,mubah dan ada pula yang mengharamkan. Setelah penulis menganalisa,penulis menyimpulkan bahwasannya langkah yang paling benar dalam masalah ini adalah meluruskan tangan didalam shalat.kesimpulan yang saya ambil disini tanpa adannya keberpihakan dari salah satu mahzab di atas.
جمع بين الصلاتين
مؤلف : سوكروان
MAKALAH KHILAFIYAH
JAMAK ANTARA DUA SHALAT
· Latar belakang
Seluruh madzhab dalam islam telah sepakat bahwasannya boleh menjamak shalat zhuhur dan ashar dalam satu waktu, dan jamak antara shalat maghrib dan ‘isya dalam satu waktu. Akan tetapi terjadi ikhtilaf dari sudut pandang syarat dan sebab- sebab yang membolehkan jamak tersebut. Sebagian berpendapat bahwa jamak shalat hanya boleh dalam keadaan yang telah disepakati secara umum. Sementara sebagian yang lain membolehkan hal tersebut hanya dalam keadaan safar saja.
Dalam realitas yang ada kita menemukan suatu hal yang menyedihkan yakni adanya perselisihan dan saling tuding menuding di kalangan para pengikut madzhab- madzhab yang ada, contohnya madzhab Ahlul Bait yang dituding telah menentang syari’at islam. Hal itu disebabkan karena mereka telah menghukumi atas bolehnya menjamak antara dua shalat tanpa ada udzur (halangan). sementara dalam realitas yang ada bahwasannya dalil- dalil syar’iyah terbgi atas dua bagian sebaimana yang akan kita kita bahas dalam penegasan akan kebolehan menjamak dua shalat.
Insya Allah disini kita akan membahas pandangan dari beberapa madzhab terhadap jamak antara dua shalat dan landasan yang mereka gunakan.
· Pokok Pembahasan
1. Mengetahui waktu- waktu shalat wajib
2. Mengetahui syarat- syarat untuk menjamak shalat
3. Mengetahui riwayat- riwayat yang bertentangan
4. Mengetahui pendapat yang membolehkan untuk menjamak shalat
5. Mengetahui riwayat- riwayat yang membolehkan menjamak dua shalat tanpa udzur
· Pembahasan
Waktu- Waktu Shalat Wajib
"Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang telah ditentukan bagi orang yang beriman." (QS. AN NISA [4:103])
Para fuqoha’ dikalangan muslim mendapatkan masalah dalam waktu shalat. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan waktu shalat, apakah waktu shalat itu merupakan syarat sah dari shalat ataukah syarat atas wajibnya shalat?
Hanafii berpendapat bahwa masuknya waktu shalat bukan syarat bagi wajibnya shalat dan bukan juga syarat bagi sahnya shalat, karena mereka berpendapat bahwa masuknya waktu shalat merupakan syarat dimulainya shalat dengan arti bahwa tidak sah jika memulai shalat belum masuk waktunya.
Dengan demikian dapat dilihat bahwasannya mereka sepakat bahwa shalat itu tidak wajib jika belum masuk waktunya, maka jika shalat dimulai pada awal waktu maka sah dan jiak dilakukan agak terlambat tidak berdosa.
Jika shalat tidak sah kecuali telah masuk waktunya itu artinya waktu shalat merupakan syarat untuk memulai shalat, syarat atas sahnya shalat, dan syarat atas wajibnya shalat. Dengan demikian wajib bagi kita untuk mengetahui waktu- waktu shalat untuk memulai shalat lima waktu.
Dalam kitab Al Fiqh ‘Alal Madzahibul Arba’ah pada bab tanda- tanda untuk Mengetahui Waktu- waktu shalat disebutkan bahwa, “Waktu shalat diketahui dengan tergelincirnya matahari dan terdapat bayangan agak miring setelah tergelincirnya matahari, dengan tergelincirnya matahari tersebut dapat diketahui waktu shalat zhuhur dan masuknya shalat ashar, Kemudian dengan tenggelamnya matahari maka diketahui bahwa waktu maghrib telah masuk, kemudian dengan hilangnya syafaq al ahmar atau al abyadh (cahaya merah atau putih) dari pandangan maka dapat diketahui waktu shalat ‘isya’, kemudian munculnya cahaya putih pada ufuq maka dengan hal tersebut dapat diketahui waktu shalat subuh.
Adapun waktu- waktu shalat lima waktu dalam ahlul bait landasannya berdasarkan riwayat yang datang Imam Ja’far Shadiq as. Bahwasannya beliu berkata, “Jibril mendatangi Rasulullah saw. Maka jibril mengajarkan kepadanya tentang waktu- waktu shalat. Jibril berkata, “shalat fajarlah ketika fajar mulai terbit, dan shalatlah untuk shalat yang pertama (zhuhur) ketika tergelincirnya matahari dan shalat asharlah setelah beberapa saat dari shalat zhuhur, dan shalat magriblah ketika bulatan matahari telah tenggelam kemudian shalat ‘isya’ setelah syafaq (sinar kemerah- merahan) telah hilang, kemudian pada esok hari tatkala terbit fajar maka jibril berkata, “Akhirkanlah shalat ketika fajar maka Rasulullah saw. mengakhirkan (shalatnya).” Jibril berkata lagi, “Akhirkanlah shalat zhuhur ketika masuk pada waktu shalat ashar kemudian shalat ashar setelahnya. Kemudian shalat maghrib sebelum hilang syafaq, dan shalat ‘isya’ ketika masuk sepertiga malam. kemudian jibril berkata, “Apa yang berada di antara dua waktu ini sesungguhnya satu waktu.”
Dengan demikian waktu- waktu shalat wajib dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pertama waktu wajib pada shalat zhuhur dan ashar yang memiliki waktu mustarak (waktu yang dibolehkan untu mengerjakan kedua shalat tersebut) antara keduanya, kedua waktu wajib pada shalat maghrib dan ‘isya’ yang memiliki waktu musytarak juga, ketiga waktu wajib bagi shalat subuh secara khusus. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (pertengahan malam) dan (dirikanlah pula) salat Shubuh. Sesungguhnya salat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat malam dan siang).”(QS. Al Isra’ [17:78])
Dalam melihat ayat di atas terjadi beberapa penafsiran dikalangan para ulama dua di antaranya adalah Fakhrur Razi dan Alamah Al Hilly. Fakhrur Razi berpendapat bahwa waktu shalat terbagi atas tiga yaitu, waktu zawal (tergelincirnya matahari), waktu awal maghrib (terbenamnya matahari) , dan waktu fajar (shubuh). adapun waktu zawal itu merupakan waktu untuk shalat zhuhur dan ashar yang di antara kedua shalat tersebut terdapat waktu mustarak. adapun waktu awal maghrib merupakan waktu untuk shalat maghrib dan isya' dan waktu di antara maghrib dan isya' merupakan waktu mustarak juga. dengan demikian boleh menjamak shalat zhuhur dan ashar, serta shalat maghrib dan isya' secara mutlak.
Adapun Alamah Al Hilly berpendapat bahwa dari setiap shalat zhuhur dan ashar tedapat waktu mukhtash (waktu yang hanya dikhususkan untuk satu shalat tertentu) dan mustarak (waktu yang dapat digunakan untuk melakukan dua shalat). waktu mukhtash shalat zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari hingga sebatas waktu untuk melaksanakan shalat zhuhur, sedangkan waktu mukhtash untuk shalat ashar sebatas ukuran untuk melakukan shalat ashar tersebut pada akhir waktu, dan waktu di antara keduanya adalah waktu mustarak. sementara waktu maghrib dan isya' juga terdapat waktu mukhtash dan waktu mustarak. adapun waktu mukhtash shalat maghrib dimulai sejak tenggelamnya matahari seukuran untuk melaksanakan satu shalat, sedangkan waktu mukhtash shalat isya' dimulai seukuran untuk melakukan satu shalat pada pertengahan malam dan waktu diantara kedua shalat tersebut adalah waktu mustarak.
Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Amr bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Waktu zhuhur adalah jika tergelincirnya matahari, ketika bayangan seseorang sama dengan dirinya, dan selama belum masuk waktu ashar. dan waktu ashar adalah selama belum menguningnya matahari. dan waktu shalat maghrib adalah selsma belum menghilangnya mega merah di langit. dan waktu shalat isya' adalah samapai tengah malam. dan waktu shalat shubuh dari terbit fajar selama matahari belum terbit." hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al- Masaajid wa Mawaadhi'us Shalah.
Syarat- Syarat Menjamak Shalat
Seluruh madzhab telah sepakat atas bolehnya menjamak shalat zhuhur dan ashar di Arafah, dan menjamak maghrib dan isya di Muzdalifah. Madzhab Maliki, Syafi'iy dan Hambaliy kecuali Hanafy sepakat atas bolehnya menjamak shalat karena adanya udzur (halangan) seperti hujan, sakit, takut, dan lain sebagainya yang termasuk bagian dari udzur.
Para pengikut Syafi'iy berpendapat bahwa, "Sebab- sebab jamak shalat adalah safar, hujan, tanah bersama adanya kegelapan pada akhir tahun, adanya haji di Arafah atau di Musdalifah. yang dimaksud dengan safar disini adalah safar ang disyaratkan bukan karena sesuatu yang diharamkan, atau yang dimakruhkan. maka dibolehkan bagi orang yang safar untuk menjamak shalat zhuhur dan ashar jamak taqdimi (mengerjakan shalat yang kedua setelah shalat yang pertama pada waktu shalat pertama) dengan dua syarat yaitu:
1. tergelincirnya matahari bersamaan dengan musafir tersebut dalam keadaan istirahat pada suatu tempat.
2. Musafir tersebut berniat untuk berpindah sebelum masuk waktu ashar dan beristirahat pada suatu tempat setelah tenggelamnya matahari.
Mereka juga berpendapat bahwa boleh menjamak dua shalat yang telah disebutkan dengan jamak taqdimi dan jamak takhri bagi seorang musafir pada jarak qoshar dingan syarat safar. Jamak taqdimi dibolehkan dengan syarat karena adanya hujan.
Para pengikut Hambali berpendapat bahwa menjamak shalat zhuhur dan ashar, serta shalat maghrib dan isya' baik itu jamak taqdimi maupun jamak takhiri hukumnya adalah mubah dan yang lebih afdhal jika tidak melakukannya. Dibolehkan menjamak antara zhuhur dan ashar dengan jamak taqdimi jika di Arafah, dan jamak antara maghrib dan isya' dengan jamak takhiri di Muzdalifah.
Disyaratkan dalam mubahnya manjamak shalat dengan beberapa syarat yaitu:
1. seorang musafir yang melakukan perjalanan dengan mengqashar shalatnya.
2. orang sakit yang mana jika dia tidak menjamak shalatnya maka akan menyusahkannya.
3. wanita menyusui dan wanita yang istihadhah yang mana dia diperbolehkan menjamak shalat untuk mengurangi kesusahannya dalam bersuci pada setiap shalat.
4. orang yang tidak mampu mengetahui waktu kapan masuknya waktu shalat sepertiorang buta, dan orang yang tinggal di bawah tanah atau gua.
5. bagi orang yang takut akan keselamatan dirinya, dan hartanya jika ditinggalkan maka akan hilang.
Dibolehkan secara khusus untuk menjamak shalat magrib dan isya' disebabkan karena kedinginan, adanya angin yang sangat kencang dan dingin, dan adanya hujan yang dapat membasahi pakaian.
Para pengikut Hanafiy berpendapat bahwa tidak boleh menjamak dua shalat dalam satu waktu baik itu dalam keadaan safar maupun tidak dengan halangan apapun, kecuali dalam dua keadaan yaitu:
1. dalam jamak taqdimi dengan syarat,
· pada hari itu merupakan hari Arafah
· merupakan hari ihram pada saat haji
· shalat di belakang Imam Muslimin
· hendaknya shalat zhuhur itu sah, jika shalat zhuhurnya rusak maka wajib mengulanginya dalam keadaan seperti ini maka tidak boleh menjamaknya dengan Ashar, akan tetapi shalat ashar dikerjakan ketika masuk waktunya.
2. Boleh menjamak shalat maghrib dan isya’ dengan jamak takhiri pada waktu isya’ dengan dua syarat:
· Hendaknya pada hari itu dia berada di Muzdlifah
· Hendaknya hari tersebut merupakan hari ihram pada saat haji.
Pertentangan Riwayat di Kalangan Masyhur Yang Menjadi Sumber Ikhtilaf
Banyak riwayat- riwayat yang bertentangan atas bolehnya menjamak dua shalat tanpa udzur hal tersebut membuat perbedaan pandangan di kalangan masyhur. Berikut ini terdapat beberapa riwayat yang menjadi pertentangan di antara beberapa madzhab.
1. Riwayat yang menyebutkan bahwa, “Rasulullah saw. menjamak dua shalat dalam keadaan bermukim (tidak safar) tanpa ada udzur.”
Riwayat ini dirwayatkan dalam:
· Shahih Bukhari 1/140, bab waktu shalat
· Shahih Muslim biSyarhi An Nawawi 5/250, kitab shalat musafir, jamak antara dua shalat dalam safar
· Sunan Abi Daud 2/6, Kitab shalat, Bab jamak antara dua shalat
· Sunan At Tirmidzi 1/355, bab- bab shalat bab 24, Ma Jaa’a fil jam’i baina Asshalataini
Sementara dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa, “Rasulullah saw. menjamak dua shalat karena ada udzur.” Dalam kitab Sunan Daruqutni pada bab jamak antara dua shalat dalam safar. Ibnu ‘Abbas menukilkan kepada kita dari dua riwayat yang berbeda tersebut yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. berdasarkan apa yang dipahami dari perbuatan Rasulullah saw. bahwasannya beliau membolehkan untuk menjamak dua shalat secara mutlak.
Abu Hurairah ra. juga menguatkan pemahaman ini ketika beliau ditanya tentang perbuatan dan perkataan Ibnu Abbas.
Ibnu ‘Abbas dicela oleh seseorang yang menentangnya ketika beliau mengakhirkan shalat maghrib dari awal waktunya, dan menjamak dua shalat pada waktu sebelumnya tanpa udzur. Orang tersebut berkata, “La ummu laka, bukankah engkau akan mengajarkan kami shalat?! Yang membuat kami menjamak dua shalat berdasarkan Rasulullah saw.”
2. disebutkan dengan mutlak dalam Shahih Muslim bisyarhi Annawawi 5/215 kitab shalat para musafir dan qashar shalat, jamak antara dua shalat dalam keadaan safar, bahwasannya “Rasulullah shalat bersama kami dalam shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ secara jamak bukan karena takut dan juga safar.”
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa, “Rasulullah saw.shalat zhuhur dan ashar secara jamak di kota madinah bukan karena takut atau safar.” Abu Zubair berkata, “Aku bertanya kepada Sa’id mengapa Rasulullah melakukan hal tersebut?, Sa’id menjawab, “Aku bertanya pada Ibnu ‘Abbas seperti pertanyaanmu padaku, dan beliau menjawab, “Rasulullah tidak ingin menyusahkan seorangpun dari umatnya.”
Dalam hal ini terdapat satu riwayat yang dinukil oleh Attirmidzi yang mana riwayat tersebut gugur dari segi sanad, dari Aby Salamah Yahya bin Khalfi Al Bashry, Al Mu’tamar bin Sulaiman menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari Hanasy, dari ‘Akramah, dari ibnu ‘Abbas dari Nabi saw. bahwasannya beliau bersabda, “Barangsiapa yang menjamak dua shalat tanpa adanya udzur maka dia telah memasuki salah satu pintu dari pintu- pintu dosa besar.” Abu ‘Isa berpendapat bahwa dan Hanasy ini yaitu Abu Arruhabi yaitu Husain bin Qais itu dha’if dikalangan ahli hadits, Ahmad dan selainnya juga melemahkannya.
Bukhari berkata bahwa, “Hadits- hadits Hanasy itu asing maka haditsnya tidak ditulis.
3. kesimpulan dari masalah yang menempatkan para faqih dari madzhab- madzhab islam berada dalam keadaan yang sulit yaitu pada masalah jamak antara dua shalat dalam satu waktu. Para faqih berbeda pendapat terhadap riwayat- riwayat yang telahdijelaskan, mereka berlandaskan pada pemahaman waktu- waktu yang disyariatkan untuk shalat, serta pembagiannya antara mukhtash (waktu khusus untuk melakukan satu shalat tertentu) dan musytarak (waktu yang dibolehkan untuk melakukan dua shalat tertentu). Maka dengan pembagian ini secara alami akan memunculkan pertanyaan yaitu apakah boleh menjamak dua shalat pada salah satu waktu dari keduanya?
Berdasarkan hal tersebut maka hendaknya kita menghilangkan pertentangan antara madzhab- madzhab besar yang ada dengan madzhab ahlul bait pada masalah tersebut disebabkan adanya perbedaan objek hukumnya, karena madzhab Ahul Bait memandang bahwa waktu musytarak itu berlaku untuk dua shalat dan kekhususannya dari segi waktu fadilahnya saja karena bukan waktu mukhtash pada salah satu dari dua shalat. Sebagaimana masuknya waktu zhuhur sebelum shalat ashar.
Sementara para faqih dari madzhab- madzhab yang lain menolak adanya jamak antara dua shalat pada waktu dari keduanya, karena pada setiap shalat memiliki waktu khusus tanpa shalat yang lain, maka objek hukum disini berbeda. Dengan demikian jelas bahwa setiap perbedaan disini dihukumi atas perbedaan subjek hukum satu dan subjek hukum yang lain, sementara pertentangan terjadi jika satu subjek bukan dengan adanya perbedaan subjeknya.
Pendapat Yang Membolehkan Jamak Shalat
Banyak riwayat yang membolehkan untuk menjamak antara dua shalat, dan didukung dengan pernyataan para ulama’ seperti:
Al Nawawi berpendapat dan masyarakat dari kalangan imamiyah atas bolehnya menjamak shalat dalam keadaan hadhir (tidak safar). Beliau juga berpendapat bahwa riwayat diatas dikuatkan oleh zhuhurnya alasan perkataan ibnu ‘Abbas yaitu, “Rasullah tidak ingin menyusahkan umatnya.”
Dan perkataan ini telah dijelaskan oleh banyak dari para ulama’ seprti Zarqani, dalam penjelasan al Muwatha, dan qustulan
Riwayat- riwayat Yang Membolehkan jamak dua Shalat tanpa udzur
· Dalam kitab Sunan Addarimi hal. 856 bab Menjamak dua shalat, diriwayatkan dari Abu Ayub Al anshari bahwasannya sesungguhnya Rasulullah saw. pernah melaksanakan shalat dengan cara jamak. Beliau menggabungkan shalat maghrib dan isya’.
· Dalam kitab Al lu’lu’ Wal Marjan hal. 349 bab Menjamak Dua Shalat Ketka Tidak Bepergian, yang dikutip dari Bukhari-Muslim, disebutkan bahwa ibnu Abbas berkata, “Aku Telah shalat bersama Rasulullah saw. delapan raka’at (menjamak zhuhur dengan ashar) dan tujuh raka’at (menjamak maghrib dan isya’.”
· Dalam kitab Al Muwatha’ Imam Malik hal. 201 bab Menjamak Antara Dua Shalat Ketika Mukim Dan Safar, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair bin Abdullah bin Abbas, bahwa beliau berkata, “Rasulullah saw. shalat zhuhur dan ashar secara jamak, serta maghrib dan isya’ secara jamakpula, bukan karena adanya seseatu yang menakutkan atau karena safar.”
· Dalam Mu’jam Al Kabir Lil Thubrani diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata, “Nabi saw. manjamak shalat zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya’ ketika di Madinah. Ketika ditanya tentang hal tersebut maka Nabi saw. menjawab, “Aku melakukan hal ini agar tidak menyusahkan umatku.”
· Dalam Shahih Bukhari hal. 141 Kitab Shalat, bab dzikrul ‘isya’ wal ‘Atamah, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya, “Nabi saw. shalat maghrib dan isya’ (menjamak kedua shalat tersebut) dalam satu waktu dari keduanya.”
Masih banyak lagi riwayat yang menjelaskan atas bolehnya menjamak shalat baik karena adanya udzur maupun tidak.
Kesimpulan
Dengan demikian jelas bahwa masalah dalam waktu- waktu shalat sudah menjadi kesepakatan di kalangan Madzhab- madzhab islam. Dan waktu- waktu shalat tersebut terbagi menjadi tiga: waktu zhuhur dan ashar musytarak dalam satu waktu, waktu maghrib dan isya’ musytarak dalam satu waktu juga, sementara waktu shubuh itu merupakan waktu khusus. Dan setiap shalat memiliki waktu mukhtash sebagaimana yang telah di uraikan.
Hukum jamak antara dua shalat itu derdasarkan musytaraknya waktu antara shalat zhuhur dan ashar, dan antara shalat maghrib dan isya’ itu boleh menurut seluruh madzhab. Yang menjadi perbedaan terletak pada sebab- sebabnya yang dikaitkan dengan Safar, Berada di Arafah, sakit, lemah, hujan dan lain sebagainya dari udzur- udzur.
Sementara madzhab Ahlul Bait mereka berpendat bahwa boleh menjamak shalat baik itu karena udzur atau tidak dengan bersandar pada riwayat- riwayat yang telah disebutkan terutama dalam perkataan Nabi saw. “Aku melakukan jamak shalat agar tidak menyusahkan umatku.” Dan dari riwayat- riwayat yang didapatkan dari para imam- imam mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)