اهلا و سهلا

Minggu, 23 Oktober 2011

جمع بين الصلاتين

مؤلف : سوكروان

MAKALAH KHILAFIYAH
JAMAK ANTARA DUA SHALAT

·        Latar belakang

Seluruh madzhab dalam islam telah sepakat bahwasannya boleh menjamak shalat zhuhur dan ashar dalam satu waktu, dan jamak antara shalat maghrib dan ‘isya dalam satu waktu. Akan tetapi terjadi ikhtilaf dari sudut pandang syarat dan sebab- sebab yang membolehkan jamak tersebut. Sebagian berpendapat bahwa jamak shalat hanya boleh dalam keadaan yang telah disepakati secara umum. Sementara sebagian yang lain membolehkan hal tersebut hanya dalam keadaan safar saja.
Dalam realitas yang ada kita menemukan suatu hal yang menyedihkan yakni adanya perselisihan dan saling tuding menuding di kalangan para pengikut madzhab- madzhab yang ada, contohnya madzhab Ahlul Bait yang dituding telah menentang syari’at islam. Hal itu disebabkan karena mereka telah menghukumi atas bolehnya menjamak antara dua shalat tanpa ada udzur (halangan). sementara dalam realitas yang ada bahwasannya dalil- dalil syar’iyah terbgi atas dua bagian sebaimana yang akan kita kita bahas dalam penegasan akan kebolehan menjamak dua shalat.
Insya Allah disini kita akan membahas pandangan dari  beberapa  madzhab terhadap jamak antara dua shalat dan landasan yang mereka gunakan.

·        Pokok Pembahasan
1.      Mengetahui waktu- waktu shalat wajib
2.     Mengetahui syarat- syarat untuk menjamak shalat
3.     Mengetahui riwayat- riwayat yang bertentangan
4.     Mengetahui pendapat yang membolehkan untuk menjamak shalat
5.     Mengetahui riwayat- riwayat yang membolehkan menjamak dua shalat tanpa udzur



·        Pembahasan

Waktu- Waktu Shalat Wajib

"Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang telah ditentukan bagi orang yang beriman." (QS. AN NISA [4:103])

Para fuqoha’ dikalangan muslim mendapatkan masalah dalam  waktu shalat. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan waktu shalat, apakah waktu shalat itu merupakan syarat sah dari shalat ataukah syarat atas wajibnya shalat?

          Hanafii berpendapat bahwa masuknya waktu shalat bukan syarat bagi wajibnya shalat dan bukan juga syarat bagi sahnya shalat, karena mereka berpendapat bahwa masuknya waktu shalat merupakan syarat dimulainya shalat dengan arti bahwa tidak sah jika memulai shalat belum masuk waktunya.
          Dengan demikian dapat dilihat bahwasannya mereka sepakat bahwa shalat itu tidak wajib jika belum masuk waktunya, maka jika shalat dimulai pada awal waktu maka sah dan jiak dilakukan agak terlambat tidak berdosa.

Jika shalat tidak sah kecuali telah masuk waktunya itu artinya waktu shalat merupakan syarat untuk memulai shalat, syarat atas sahnya shalat, dan syarat atas wajibnya shalat. Dengan demikian wajib bagi kita untuk mengetahui waktu- waktu shalat untuk memulai shalat lima waktu.

Dalam kitab Al Fiqh ‘Alal Madzahibul Arba’ah pada bab tanda- tanda untuk Mengetahui Waktu- waktu shalat disebutkan bahwa, “Waktu shalat diketahui dengan tergelincirnya matahari dan terdapat bayangan agak miring setelah tergelincirnya matahari, dengan tergelincirnya matahari tersebut dapat diketahui waktu shalat zhuhur dan masuknya shalat ashar, Kemudian dengan  tenggelamnya matahari maka diketahui bahwa waktu maghrib telah masuk, kemudian dengan hilangnya syafaq al ahmar atau al abyadh (cahaya merah atau putih) dari pandangan maka dapat diketahui waktu shalat ‘isya’, kemudian munculnya cahaya putih pada ufuq maka dengan hal tersebut dapat diketahui waktu shalat subuh.



Adapun waktu- waktu shalat lima waktu dalam ahlul bait landasannya berdasarkan  riwayat yang datang Imam Ja’far Shadiq as. Bahwasannya beliu berkata, “Jibril mendatangi Rasulullah saw. Maka jibril mengajarkan kepadanya tentang waktu- waktu shalat. Jibril berkata, “shalat fajarlah ketika fajar mulai terbit, dan shalatlah untuk shalat yang pertama (zhuhur) ketika tergelincirnya matahari dan shalat asharlah setelah beberapa saat dari shalat zhuhur, dan shalat magriblah ketika bulatan matahari telah tenggelam kemudian shalat ‘isya’ setelah syafaq (sinar kemerah- merahan) telah hilang, kemudian pada esok hari tatkala terbit fajar maka jibril berkata, “Akhirkanlah shalat ketika fajar maka Rasulullah saw. mengakhirkan (shalatnya).” Jibril berkata lagi, “Akhirkanlah shalat zhuhur ketika masuk pada waktu shalat ashar kemudian shalat ashar setelahnya. Kemudian shalat maghrib sebelum hilang syafaq, dan shalat ‘isya’ ketika masuk sepertiga malam. kemudian jibril berkata, “Apa yang berada di antara dua waktu ini sesungguhnya satu waktu.”
Dengan demikian waktu- waktu shalat wajib dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pertama waktu wajib pada shalat zhuhur dan ashar yang memiliki waktu mustarak (waktu yang dibolehkan untu mengerjakan kedua shalat tersebut) antara keduanya, kedua waktu wajib pada shalat maghrib dan ‘isya’  yang memiliki waktu musytarak juga, ketiga waktu wajib  bagi shalat subuh secara khusus. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (pertengahan malam) dan (dirikanlah pula) salat Shubuh. Sesungguhnya salat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat malam dan siang).”(QS. Al Isra’ [17:78])
         
          Dalam melihat ayat di atas terjadi beberapa penafsiran dikalangan para ulama dua  di antaranya adalah Fakhrur Razi dan Alamah Al Hilly. Fakhrur Razi berpendapat bahwa waktu shalat terbagi atas tiga yaitu, waktu zawal (tergelincirnya matahari), waktu awal maghrib (terbenamnya matahari) , dan waktu fajar (shubuh).  adapun waktu zawal itu merupakan waktu untuk shalat zhuhur dan ashar yang di antara kedua shalat tersebut terdapat waktu mustarak. adapun waktu awal maghrib merupakan waktu untuk shalat maghrib dan isya' dan waktu di antara maghrib dan isya' merupakan waktu mustarak juga. dengan demikian boleh menjamak shalat zhuhur dan ashar, serta shalat maghrib dan isya' secara mutlak.
          Adapun Alamah Al Hilly berpendapat bahwa dari setiap shalat zhuhur dan ashar tedapat waktu mukhtash (waktu yang hanya dikhususkan untuk satu shalat tertentu) dan mustarak (waktu yang dapat digunakan untuk melakukan dua shalat). waktu mukhtash shalat zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari hingga sebatas waktu untuk melaksanakan shalat zhuhur, sedangkan waktu mukhtash untuk shalat ashar sebatas ukuran untuk melakukan shalat ashar tersebut pada akhir waktu, dan waktu di antara keduanya adalah waktu mustarak. sementara waktu maghrib dan isya' juga terdapat waktu mukhtash dan waktu mustarak. adapun waktu mukhtash shalat maghrib dimulai sejak tenggelamnya matahari seukuran untuk melaksanakan satu shalat, sedangkan waktu mukhtash shalat isya' dimulai seukuran untuk melakukan satu shalat pada pertengahan malam dan waktu diantara kedua shalat tersebut adalah waktu mustarak.

          Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Amr bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Waktu zhuhur adalah jika tergelincirnya matahari, ketika bayangan seseorang sama dengan dirinya, dan selama belum masuk waktu ashar. dan waktu ashar adalah selama belum menguningnya matahari.  dan waktu shalat maghrib adalah selsma belum menghilangnya mega merah di langit.  dan waktu shalat isya' adalah samapai tengah malam. dan waktu shalat shubuh dari terbit fajar selama matahari belum terbit." hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al- Masaajid wa Mawaadhi'us Shalah.

Syarat- Syarat Menjamak Shalat

          Seluruh madzhab telah sepakat atas bolehnya menjamak shalat zhuhur dan ashar di Arafah, dan menjamak maghrib dan isya di Muzdalifah. Madzhab Maliki, Syafi'iy dan Hambaliy kecuali Hanafy sepakat atas bolehnya menjamak shalat karena adanya udzur (halangan) seperti hujan, sakit, takut, dan lain sebagainya yang termasuk bagian dari udzur.
          Para pengikut Syafi'iy berpendapat bahwa, "Sebab- sebab jamak shalat adalah safar, hujan, tanah bersama adanya kegelapan pada akhir tahun, adanya haji di Arafah atau di Musdalifah. yang dimaksud dengan safar disini adalah safar ang disyaratkan bukan karena sesuatu yang diharamkan, atau yang dimakruhkan. maka dibolehkan bagi orang yang safar untuk menjamak shalat zhuhur dan ashar jamak taqdimi (mengerjakan shalat yang kedua setelah shalat yang pertama pada waktu shalat pertama) dengan dua syarat yaitu:
1.     tergelincirnya matahari bersamaan dengan musafir tersebut dalam keadaan istirahat pada suatu tempat.
2.     Musafir tersebut  berniat untuk berpindah sebelum masuk waktu ashar dan beristirahat pada suatu tempat setelah tenggelamnya matahari.
          Mereka juga berpendapat bahwa boleh menjamak dua shalat yang telah disebutkan dengan jamak taqdimi dan jamak takhri bagi seorang musafir pada jarak qoshar dingan syarat safar. Jamak taqdimi dibolehkan dengan syarat karena adanya hujan.
          Para pengikut Hambali berpendapat bahwa menjamak shalat zhuhur dan ashar, serta shalat maghrib dan isya' baik itu jamak taqdimi maupun jamak takhiri hukumnya adalah mubah dan yang lebih afdhal jika tidak melakukannya. Dibolehkan menjamak antara zhuhur dan ashar dengan jamak taqdimi jika di Arafah, dan jamak antara maghrib dan isya' dengan  jamak takhiri di Muzdalifah.            
  Disyaratkan dalam mubahnya manjamak shalat dengan beberapa syarat yaitu:
1.     seorang musafir yang melakukan perjalanan dengan mengqashar shalatnya.
2.     orang sakit  yang mana jika dia tidak menjamak shalatnya maka akan menyusahkannya.
3.     wanita menyusui dan wanita yang istihadhah yang mana dia diperbolehkan menjamak shalat untuk mengurangi kesusahannya dalam bersuci pada setiap shalat.
4.     orang yang tidak mampu mengetahui waktu kapan masuknya waktu shalat sepertiorang buta, dan orang yang tinggal di bawah tanah atau gua.
5.     bagi orang yang takut akan keselamatan dirinya, dan hartanya jika ditinggalkan maka akan hilang.
          Dibolehkan secara khusus untuk menjamak shalat magrib dan isya' disebabkan karena kedinginan, adanya angin yang sangat kencang dan dingin, dan adanya hujan yang dapat membasahi pakaian.
          Para pengikut Hanafiy berpendapat bahwa tidak boleh menjamak dua shalat dalam satu waktu baik itu dalam keadaan safar maupun tidak dengan halangan apapun, kecuali dalam dua keadaan yaitu:
1.     dalam jamak taqdimi dengan syarat,
·        pada hari itu merupakan hari Arafah
·        merupakan hari ihram pada saat haji
·        shalat di belakang Imam Muslimin
·        hendaknya shalat zhuhur itu sah, jika shalat zhuhurnya rusak maka wajib mengulanginya dalam keadaan seperti ini maka tidak boleh menjamaknya dengan Ashar, akan tetapi shalat ashar dikerjakan ketika masuk waktunya.
2.     Boleh menjamak shalat maghrib dan isya’ dengan jamak takhiri pada waktu isya’ dengan dua syarat:
·        Hendaknya pada hari itu dia berada di Muzdlifah
·        Hendaknya hari tersebut merupakan hari ihram pada saat haji.


Pertentangan Riwayat di Kalangan Masyhur                                                           Yang Menjadi Sumber Ikhtilaf

          Banyak riwayat- riwayat yang bertentangan atas bolehnya menjamak dua shalat tanpa udzur hal tersebut membuat perbedaan pandangan di kalangan masyhur. Berikut ini terdapat beberapa riwayat yang menjadi pertentangan di antara beberapa madzhab.
1.     Riwayat yang menyebutkan bahwa, “Rasulullah saw. menjamak dua shalat dalam keadaan bermukim (tidak safar) tanpa ada udzur.”
Riwayat ini dirwayatkan dalam:
·        Shahih Bukhari 1/140, bab waktu shalat
·        Shahih Muslim biSyarhi An Nawawi 5/250, kitab shalat musafir, jamak antara dua shalat dalam safar
·        Sunan Abi Daud 2/6, Kitab shalat, Bab jamak antara dua shalat
·        Sunan At Tirmidzi 1/355, bab- bab shalat bab 24, Ma Jaa’a fil jam’i baina Asshalataini
          Sementara dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa, “Rasulullah saw. menjamak dua shalat karena ada udzur.” Dalam kitab Sunan Daruqutni pada bab jamak antara dua shalat dalam safar. Ibnu ‘Abbas menukilkan kepada kita dari dua riwayat yang berbeda tersebut yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. berdasarkan apa yang dipahami dari perbuatan Rasulullah saw. bahwasannya beliau membolehkan untuk menjamak dua shalat secara mutlak.
          Abu Hurairah ra. juga menguatkan pemahaman ini ketika beliau ditanya tentang perbuatan dan perkataan Ibnu Abbas.
          Ibnu ‘Abbas dicela oleh seseorang yang menentangnya ketika beliau mengakhirkan shalat maghrib dari awal waktunya, dan menjamak dua shalat pada waktu sebelumnya tanpa udzur. Orang tersebut berkata, “La ummu laka, bukankah engkau akan mengajarkan kami shalat?! Yang membuat kami menjamak dua shalat berdasarkan  Rasulullah saw.”
2.               disebutkan dengan mutlak dalam Shahih Muslim bisyarhi Annawawi 5/215 kitab shalat para musafir dan qashar shalat, jamak antara dua shalat dalam keadaan safar, bahwasannya “Rasulullah shalat bersama kami dalam shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ secara jamak bukan karena takut dan juga safar.”
          Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa, “Rasulullah saw.shalat zhuhur dan ashar secara jamak di kota madinah bukan karena takut atau safar.” Abu Zubair berkata, “Aku bertanya kepada Sa’id mengapa Rasulullah melakukan hal tersebut?, Sa’id menjawab, “Aku bertanya pada Ibnu ‘Abbas seperti pertanyaanmu padaku, dan beliau menjawab, “Rasulullah tidak ingin menyusahkan seorangpun dari umatnya.”
          Dalam hal ini terdapat satu riwayat yang dinukil oleh Attirmidzi yang mana riwayat tersebut  gugur dari segi sanad, dari Aby Salamah Yahya bin Khalfi Al Bashry, Al Mu’tamar bin Sulaiman menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari Hanasy, dari ‘Akramah, dari ibnu ‘Abbas dari Nabi saw. bahwasannya beliau bersabda, “Barangsiapa yang menjamak dua shalat tanpa adanya udzur maka dia telah memasuki salah satu pintu dari pintu- pintu dosa besar.” Abu ‘Isa berpendapat bahwa dan Hanasy ini yaitu Abu Arruhabi yaitu Husain bin Qais itu dha’if dikalangan ahli hadits, Ahmad dan selainnya juga melemahkannya.
          Bukhari berkata bahwa, “Hadits- hadits Hanasy itu asing maka haditsnya tidak ditulis.

3.               kesimpulan dari masalah yang menempatkan para faqih dari madzhab- madzhab islam berada dalam keadaan yang sulit yaitu pada masalah jamak antara dua shalat dalam satu waktu. Para faqih berbeda pendapat terhadap riwayat- riwayat yang telahdijelaskan, mereka berlandaskan pada pemahaman waktu- waktu yang disyariatkan untuk shalat, serta pembagiannya antara mukhtash (waktu khusus untuk melakukan satu shalat tertentu) dan musytarak (waktu yang dibolehkan untuk melakukan dua shalat tertentu). Maka dengan pembagian ini secara alami akan memunculkan pertanyaan yaitu apakah boleh menjamak dua shalat pada salah satu waktu dari keduanya?

Berdasarkan hal tersebut maka hendaknya kita menghilangkan pertentangan antara madzhab- madzhab besar yang ada dengan madzhab ahlul bait pada masalah tersebut disebabkan adanya perbedaan objek hukumnya, karena madzhab Ahul Bait memandang bahwa waktu musytarak itu berlaku untuk dua shalat dan kekhususannya dari segi waktu fadilahnya saja karena bukan waktu mukhtash pada salah satu dari dua shalat. Sebagaimana masuknya waktu zhuhur sebelum shalat ashar.
          Sementara para faqih dari madzhab- madzhab yang lain menolak adanya jamak antara dua shalat pada waktu dari keduanya, karena pada setiap shalat memiliki waktu khusus tanpa shalat yang lain, maka objek hukum disini berbeda. Dengan demikian jelas bahwa setiap perbedaan disini dihukumi atas perbedaan subjek hukum satu dan subjek hukum yang lain, sementara pertentangan terjadi jika satu subjek bukan dengan adanya perbedaan subjeknya.

Pendapat Yang Membolehkan Jamak Shalat

          Banyak riwayat yang membolehkan untuk menjamak antara dua shalat, dan didukung dengan pernyataan para ulama’ seperti:
          Al Nawawi berpendapat dan masyarakat dari kalangan imamiyah atas bolehnya menjamak shalat dalam keadaan hadhir (tidak safar). Beliau juga berpendapat bahwa riwayat diatas dikuatkan oleh zhuhurnya alasan perkataan ibnu ‘Abbas yaitu, “Rasullah tidak ingin menyusahkan umatnya.”
          Dan perkataan ini telah dijelaskan oleh banyak dari para ulama’ seprti Zarqani, dalam penjelasan al Muwatha, dan qustulan
Riwayat- riwayat Yang Membolehkan jamak dua Shalat tanpa udzur

·        Dalam kitab Sunan Addarimi hal. 856 bab Menjamak dua shalat, diriwayatkan dari Abu Ayub Al anshari bahwasannya sesungguhnya Rasulullah saw. pernah melaksanakan shalat dengan cara jamak. Beliau menggabungkan shalat maghrib dan isya’.
·        Dalam kitab Al lu’lu’ Wal Marjan hal. 349 bab Menjamak Dua Shalat Ketka Tidak Bepergian, yang dikutip dari Bukhari-Muslim, disebutkan bahwa ibnu Abbas berkata, “Aku Telah shalat bersama Rasulullah saw. delapan raka’at (menjamak zhuhur dengan ashar) dan tujuh raka’at (menjamak maghrib dan isya’.”
·        Dalam kitab Al Muwatha’ Imam Malik hal. 201 bab Menjamak Antara Dua Shalat Ketika Mukim Dan Safar, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair bin Abdullah bin Abbas, bahwa beliau berkata, “Rasulullah saw. shalat zhuhur dan ashar secara jamak, serta maghrib dan isya’ secara jamakpula, bukan karena adanya seseatu yang menakutkan atau karena safar.”
·        Dalam Mu’jam Al Kabir Lil Thubrani diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata, “Nabi saw. manjamak shalat zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya’ ketika di Madinah. Ketika ditanya tentang hal tersebut maka Nabi saw. menjawab, “Aku melakukan hal ini agar tidak menyusahkan umatku.”
·        Dalam Shahih Bukhari hal. 141 Kitab Shalat, bab dzikrul ‘isya’ wal ‘Atamah, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya, “Nabi saw. shalat maghrib dan isya’ (menjamak kedua shalat tersebut) dalam satu waktu dari keduanya.”
          Masih banyak lagi riwayat yang menjelaskan atas bolehnya menjamak shalat baik karena adanya udzur maupun tidak.

Kesimpulan

Dengan demikian jelas bahwa masalah dalam waktu- waktu shalat sudah menjadi kesepakatan di kalangan Madzhab- madzhab islam. Dan waktu- waktu shalat tersebut terbagi menjadi tiga: waktu zhuhur dan ashar musytarak dalam satu waktu, waktu maghrib dan isya’ musytarak dalam satu waktu juga, sementara waktu shubuh itu merupakan waktu khusus. Dan setiap shalat memiliki waktu mukhtash sebagaimana yang telah di uraikan.
          Hukum jamak antara dua shalat itu derdasarkan musytaraknya waktu antara shalat zhuhur dan ashar, dan antara shalat maghrib dan isya’ itu boleh menurut seluruh madzhab. Yang menjadi perbedaan terletak pada sebab- sebabnya yang dikaitkan dengan Safar, Berada di Arafah, sakit, lemah, hujan dan lain sebagainya dari udzur- udzur.
          Sementara madzhab Ahlul Bait mereka berpendat bahwa boleh menjamak shalat baik itu karena udzur atau tidak dengan bersandar pada riwayat- riwayat yang telah disebutkan terutama dalam perkataan Nabi saw. “Aku melakukan jamak shalat agar tidak menyusahkan umatku.” Dan dari riwayat- riwayat yang didapatkan dari para imam- imam mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar