مؤلف : حمدان
Syafaat dalam Perspektif Islam
Secara etimologi syafaat berasal dari kata شَفْعًا , _ يَشْفَعُ _ شَفَعَ [1] yang berarti pembela, penolong. Dan adapun secara etimologi syafaat berarti orang yang mendapatkan pertolongan dengan perantara orang yang diterima syafaatnya. Tak dapat kita pungkiri bahwa mayoritas umat islam sepakat bahwa syafaat berlaku di hari kiamat dan akan diberikan kepada kaum mukminin. Akan tetapi, terdapat khilafiah diantara mereka mengenai seberapa luas makna syafaat ini. Dan tak dapat dipungkiri juga bahwa dibalik khilafiah tersebut mereka sama dalam memahami bahwa syafaat akan bermamfaat untuk menghindarkan seseorang dari bahaya dan siksa neraka.
Pertama: Perspektif Syiah dalam memaknai Syafaat
1. Imam Ali bin Musa ar-Ridha meriwayatkan dari Amirul mu`minin as: “Siapa yang telah mendustakan syafaat Rasulullah, maka syafaat beliau tidak akan menghampirinya.”[2]
Syeikh Mufid, Muhammad bin Nu’man Al-‘Akbari (wafat tahun 413 H) mengatakan bahwa, Syi’ah Imamiyyah bersepakat bahwa Rasulullah kelak di hari kiamat akan memberikan syafaatnya kepada sekelompok orang dari umatnya yang mengakui adanya syafaat dihari kiamat nanti.
2. Imam Ali as berkata: “Ketahuilah bahwa al-Qur`an diterima syafaatnya dan dibenarkan perkataannya. Siapa yang disyafaati al-Qur`an pada hari kiamat, maka berkat al-Qur`an lah ia mendapatkan syafaat.” [3]
3. Dalam kitab al-Amali karya Syekh Shaduq, diriwayatkan dari Ibnu Babuwaih al-Qummi dari Muhammad bin Ali Majiluwaih dari pamannya, Muhammad bin Abul qasim dari Ahmad bin Abu Abdillah Albu`qi dari Ali bn Husain al-Barqi dari Abdullah bin Jabalah dari Muawiyah bin Ammar dari Hasan bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya, Hasan bin Ali; Rasulullah saw bersabda: “Syafaat adalah untuk para pelaku dosa besar dari umatku.” [4]
Allamah Syeikh Muhammad Baqir Al-Majlisi (wafat tahun 1110 H) mengatakan, “Ketahuilah, bahwa syafaat adalah satu hal yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai masalah yang prinsipil dalam agama Islam. Mereka bersepakat bahwa Rasulullah Saw di hari kiamat nanti akan memberikan syafaat kepada umatnya, bahkan umat-umat yang lain.
Kedua: Perspektif Ahl-Sunnah dalam memaknai Syafaat
1. Abu Mansur Al-Maturidi Al-Samarqandi (wafat tahun 333 H) bersandar pada ayat
ولا يشفعون إلاّ لمن ارتضى
..dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah,..” al-Anbiya(21):[28].
يَعْلَمُ ما بَيْنَ أَيْديهِمْ وَما خَلْفَهُمْ وَلا يَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضى وَ هُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Artinya : “Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan dan di belakang mereka (malaikat), dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” Al-anbiya (21):[28]
Nashiruddin Ahmad bin Muhammad bin Al-Munir Al-Iskandari Al-Maliki menulis, “Mereka yang mengingkari syafaat sangat layak untuk tidak menerimanya di hari kiamat nanti. Sedangkan yang percaya dan meyakininya, yaitu kelompok Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, mereka adalah orang-orang yang selalu berharap akan rahmat Allah. Mereka percaya bahwa syafaat bisa diberikan kepada orang-orang mukmin yang telah melakukan dosa, dan syafaat ini adalah hak Nabi Muhammad Saw yang disimpan untuk mereka…” [5]
2. Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya meriwayatkan; Rasulullah saw bersabda: “Diperkenankan bagi para malaikat, para nabi dan syuhada untuk memberi syafaat. Maka mereka mensyafaati, dan mereka mengeluarkan siapa yang ada setitik iman di hatinya, dari api neraka.” [6]
3. Fakhrur Razi [7] mengatakan: “Umat Islam sepakat bahwa Nabi saw akan memberi syafaat pada hari kiamat. Kaum Mu’tazilah mempunyai penafsiran lain soal syafaat dan mereka mengatakan: “Yang dimaksud syafaat Nabi ialah bahwa pada hari itu, syafaat beliau meninggikan pahala orang-orang saleh, dan bukan berarti membebaskan para pendosa dari azab.” Tetapi yang benar adalah bahwa seluruh kelompok Islam selain kelompok itu, mengatakan: makna syafaat ialah membebaskan para pendosa dari siksaan api neraka hingga mereka tidak masuk neraka. Mereka yang disiksa dalam api neraka, berkat syafaat Nabi mereka keluar dari api neraka dan masuk surga.” [8]
Dari telaah sebagian kecil pandangan kelompok-kelompok dalam Islam, terdapat hal yang menjadi perbedaan terkait soal siapa yang diberi syafaat. Kelompok-kelompok tersebut terbagi pada dua golongan:
1. Mu’tazilah mengatakan bahwa yang disyafaati adalah para kekasih Allah, dan syafaat berlaku untuk pengangkatan derajat mereka. Sebagaimana yang dikatakan Syekh Abu Imran dalam kitabnya: “Para pendosa tidak akan memperoleh syafaat. [9] Dan pandangan Murjiah yang didasari bahwa syafaat adalah perkara yang mungkin, yang dapat mencegah para pendosa dari masuk neraka, tidaklah benar.” [10]
2. Syiah dan Asy’ariah mengatakan bahwa yang disyafaati adalah orang yang berdosa, dan syafaat berlaku baginya bahwa dosanya diampuni dan ia selamat dari siksaan.
Disisi lain, Sayid Murtadha mengatakan: “Seluruh muslimin mempercayai syafaat Nabi. Tetapi soal siapa yang akan disyafaati, terdapat dua kelompok mengenainya:
1-Mu’tazilah, kaum Khawarij dan Zaidiyah, bahwa: syafaat berlaku hanya bagi orang-orang yang bertaubat sebelum mati dan tidak berbuat dosa. [11]
2- Murjiah, Syiah dan Asy’ariah, bahwa: syafaat berlaku bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan. Dengan syafaat mereka terlepas dari siksaan.” [12]
Ayatullah Subhani juga mengatakan: “Syiah Imamiyah dan Asya’irah meyakini bahwa kekal dalam neraka adalah bagi kaum kafir. Sedangkan orang-orang Islam yang berdosa, setelah sekian masa keluar dari neraka menuju surga. Sementara pandangan Mu’tazilah bahwa kekal dalam neraka diperuntukkan kaum kafir dan orang-orang Islam pelaku dosa-dosa besar yang tidak bertaubat. Dalam hal ini mereka bersandar pada sejumlah ayat yang jika diperhatikan apa yang terkandung di dalamnya, argumentasi mereka jelas sekali lemah.” [13]
Kedua: Selayang pandang Seputar Masalah Syafaat
Pada fitrah-nya manusia menginginkan sesuatu yang indah-indah dan membahagiakan, baik didunia, demikian juga hal-nya kelak dihari perhitungan. Oleh karena-nya, kita tidak dapat pungkiri bahwa setiap Af’al seseorang akan ada konsekuen-nya baik atau-pun buruk hal itu. Dan pelaku dosa besar, akan mendapatkan konsekuensi yang berupa bahaya yang akan menjarahnya. Bahaya disini adalah sebuah penderitaan, anarkisme dan kekerasan. Dan hal ini bertolak belakang dengan fitrah kemanusiaan, dan sifat rahman dan rahim Tuhan itu sendiri, maha suci Tuhan dari hal itu. Dan hal ini juga selaras dengan makna syafaat yang akan diperoleh di hari kiamat nanti, bahwa kaum mukminin akan mendapatkan pertolongan dari Rasulullah Saw. Dengan diterimanya syafaat tersebut oleh Allah, seseorang tersebut akan mendapatkan karunia, serta terhindar dari bahaya.
Sanggahan
Sekiranya kita melihat bahwa dosa yang diperbuat oleh seorang mukmin sama dengan dosa yang diperbuat oleh orang kafir. Sedangkan pahala atau siksa Allah diberikan kepada hamba-Nya karena perbuatan yang ia lakukan. Dimana sebelunya kita temukan bahwa dengan perantaraan syafaat, seorang mukmin yang telah berbuat dosa akan terbebas dari siksa, sedangkan orang kafir tidak akan selamat, maka hal tersebut menurut kami bertentangan dengan keadilan Allah. Hal ini dapat kita sebut dengan “problem dualisme konsekuensi untuk satu dosa”.[14]
Jawaban
Ada dua permasalahan yang harus kita jelaskan di sini. Pertama, apakah dosa yang dilakukan oleh seorang mukmin sama dengan yang dilakukan oleh orang kafir? Kedua, apakah dengan diterimanya syafaat Nabi Saw kepada seorang mukmin yang berdosa padahal orang kafir yang melakukan hal sama tidak berhak mendapatkannya, hal itu berarti Musytarâk lafzȋ [15] dalam pembalasan ataukah tidak?
Jelas bahwa sebuah dosa, siapapun pelakunya, adalah sebuah hal tercela dan pelakunya pantas untuk mendapat siksa. Sebagaimana halnya perbuatan baik, siapapun pelakunya, adalah hal terpuji dan pelakunya berhak untuk mendapatkan pahala. Jika tidak demikian tidak ada lagi perbedaan antara orang yang baik dan orang yang berdosa.
Hanya saja, Allah membedakan antara dosa yang mereka lakukan, di sini pembicaraan kita mengenai masalah dosa yang dilakukan oleh orang mukmin dengan yang dilakukan oleh orang kafir. Allah memberikan kesempatan bagi orang mukmin yang berdosa untuk mendapatkan syafaat sebagaimana juga membuka pintu taubat baginya. Di saat yang sama orang kafir bisa mendapatkan dua kesempatan tersebut dengan syarat harus terlebih dahulu beriman kepada-Nya. Sama halnya dengan kebajikan yang mereka lakukan. Selagi mereka belum beriman, seluruh amal kebajikannya tidak akan dibalas dengan pahala sama sekali, sebagaimana dalam hadits disebutkan,
Imam Shadiq as berkata: “Siapa yang menipu seorang muslim dalam jual-beli bukanlah dari golongan kami, dan pada hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama kaum Yahudi karena mereka adalah orang-orang yang paling penipu terhadap kaum muslimin.” [16]
Kebohongan yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan yang dilakukan oleh orang kafir bisa saja sama, tetapi dalam hukumnya tetap berbeda. Perbedaan hukum ini telah dijelaskan oleh Sang Pembuat Syariat, Allah Swt. Dia juga menjelaskan bahwa hukum orang mukmin berbeda dengan hukum orang kafir.
Rasulullah saw bersabda: “Syafaat tidak berlaku bagi kaum yang dalam keraguan, kaum syirik, kaum kafir dan pembangkang. Tetapi syafaatku adalah untuk kaum beriman yang bertauhid.” [17]
Sebenarnya, kritik ini berasal dari anggapan bahwa dosa kedua orang tadi sama. Padahal seperti yang telah kami jelaskan, meskipun secara lahiriah keduanya sama, akan tetapi dari sisi hukumnya berbeda dan yang menentukan perbedaan tersebut adalah Allah. Al-Qur’an Al-Karim melalui ayat-ayat sucinya membagi umat manusia di hari kiamat nanti ke dalam beberapa kelompok, diantaranya, kelompok mukminin dan kelompok kafirin.[18]
KESIMPULAN
Sebagaimana kita saksikan saat ini mayoritas manusia, dan islam pada khususnya mengharapkan pertolongan yang kelak akan menjauhkan dia dari mara bahaya. Dimana konsep syafaat dalam hal ini merupakan hal yang sangat urgen dalam mentolerir ketakutan-ketakutan manusia, tapi tidak serta merta, ketika seseorang kita meyakini adanya syafaat lalu kemudian dia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan syariat, dan menjadi ajang kebebasan untuk bermaksiat. Akan tetapi hal tersebut menjadi pelajaran yang mengantarkan kita untuk senantiasa bersyukur akan sifat Lutuf Allah. Melalui tulisan kecil ini kita dapat simpulkan bahwa mayoritas ulama islam sepakat akan adanya syafaat di hari perhitungan kelak. Meski demikian yang menjadi permasalahan terletak pada siapa yang berhak memberi dan menerima syafaat tersebut.
PENUTUP
Melalui kajian singkat ini setidaknya kita dapat melihat –meskipun tidak secara terperinci- bahwa secara garis besar memang ada persamaan antara Ahl al-Sunnah dan Syiah Imamiyah secara khusus dalam proses melakukan telaah terhadap sunnah, hadits-hadits, khususnya berkeanaan dengan masalah syafaat. Meski kemudian dalam penerapannya terdapat perbedaan antara keduanya. Sebagai contoh, jika Ahl al-Sunnah sejak awal menjadikan sanad sebagai salah satu pijakan utama dalam menerima hadits, maka Syiah justru bersandar pada para maksumin as. Bahkan, seperti diakui oleh mayoritas ulama itu sendiri adalah perhatian terhadap sanad itu muncul karena hal itu sangat penting. Dan bukan sekedar untuk memunculkan ‘pembelaan’ di hadapan majelis khilafiah.
[1] Al-Munawwir, hal 729
[2] Bihar al-Anwar jus 8, hal 41; jus 2, hal 117
[3] Nahjul balagha, khutbah 176
[4] Kitab al-Amali, hal 194
[5] Kitab al-Intishaf
[6] Musnad Ibn Hanbal, juz 5, hal 43
[7] Tokoh besar Asy’ari
[8] Tafsir al-Kabir, jus 3, hal 51
[9] Mas’aleh-e Iktiyar dar Tafakkure Islami wa Pasukhe Mu’tazileh be on, -terjemahan Ismail S’adat, hal 354
[10] Ibid 9
[11] Syarh Jumal al-‘Ilm wa al-‘Amal, hal 156
[12] Ibid 11
[13] Farhange Aqaed wa Mazaheb Islam, hal 175
[14] Ebook
[15] Ilm Mantiq,fi anwa’ al-lafz, hal 20. Abdl Hadi fadl
[16] Kitab Wasail Syiah, jus 12 hal 210
[17] Biharul anwar, juz 8, hal 58
[18] Al-Qur’an