التفكر
Bismillahi rahmanirahim
Alhamdullah, alhamdulillahi rabbil ‘alamin
Nahmaduhu, wa Nasta’ȋnuhu bish shabri wash shalah
Wa Nastaghfiruhu, wa Na’ûdzu billahi min Syurûri Anfusinâ
Wa min sayiâti a’mâlinâ
Ashalâtu was salâmu ‘alâ asyrafil anbiyâ’ȋ wal Mursalȋn,
Sayyidil wujûd, sayyidinâ, wa habȋbinâ, wa syâfi’inâ, wa maulânâ
habȋbil Mushthafâ abil Qâsim Muhammad
Tafakkur secara etimologi berarti memikirkan, merenungkan, atau berpandangan tentang sesuatu.
Secara terminology yang dapat diambil dari salah satu ulama shufȋ yaitu Syeikh ‘Abdur Rhaman as Sallimȋ, beliau mengatakan bahwa tafakkur itu adalah
pikiran atau renungan terhadap amal perbuatan. baik itu yang dapat kita sadari,maupun yang tidak kita sadari,
Memikirkan keta’atan kita, sudah sampai di mana ketaatan kita pada Allah apakah sudah sampai pada titik yang kita dan Allah inginkan ataukah kita masih memikirkan imbalan (surga) yang akan diberikan oleh Allah Ta’ala ketika kita sudah merasa ta’at kepada Allah Ta’ala.
Kemudian kita memikirkan ma’shiat yang telah kita perbuat. Bahwasannya sudahkah kita sadari maksiat apa yang telah kita perbuat dan sudahkah kita mohon ampun pada dzat yang maha suci atas dosa kita tersebut. Kemudian setelah kita memikirkan seluruhnya maka kita harus memperbaiki seluruh perbuatan kita dari maksiat yang kita lakukan insya allah dengan hal tersebut perbuatan kita akan bersih dan suci.
Tafakkur merupakan suatu ibadah yang sangat utama dari ibadah- ibadah yang lain. Sebagaimana dalam dalam wasiat imam Hasan as bahwasannya beliau berkata,
اوصيكم بتقوي الله و ادامة التفكر, فان التفكر ابو كل خير و امه
“Sesungguhnya aku mewasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, dan selalu bertafakkur. Karena sesungguhnya tafakkur itu merupakan ayah dan ibu dari seluruh kebaikan.”
Dari hadis yang telah disebutkan tadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa betapa pentingnya bertafakkur yang mana tafakkur tersebut merupakan induk atau sumber dari segala ibadah. Pemahaman ini diambil dari lafazh abu kulli khairin wa ummuhu.
Hal itu juga ditunjukkan dalam hadis Ja’far as.
التفكر ساعة خير من عبادة سنة
“Tafakkur sesaat itu lebih baik dari ibadah selama setahun.”
Hadis tersebut semakin menunjukkan betapa tingginya keutamaan tafakkur
Mengapa tafakkur tersebut dikatakan sebagai induk dari ibadah- ibadah dan lebih daik dari seluruh ibadah. Karena dengan tafakkur akan lahir beberapa kunci yang digunakan dalam setiap ibadah dan perbuatan.
Sebagaimana dalam tafakkur memiliki tingkatan- tingkatan yang berbeda yang mana dengan itu akan lahir kunci ibadah yang telah disebutkan tadi. Menurut Imam Muhammad Mâdhi abu Al ‘Azâ’im beliau adalah salah satu ulama shufi, beliau berpendapat bahwa tafakkur memiliki 5 tingkatan yaitu:
Pertama tafakkur pada ayat- ayat Allah yaitu tafakkur dan merenungkan tentang tanda- tanda kebesaran tuhan. Mulai dari ciptaannya yang ada di bumi hingga yang ada di langit, bagaimana proses penciptaannya, apakah dia ada dengan sendirinya atau secara alami seiring dengan berputarnya waktu ataukah semuanya ada sebab yang mewujudkannya, apakah yang mewujudkannya itu merupakan dzat yang berdiri sendiri ataukah dia juga bergantung pada selainya serta renungan pada tanda- tanda yang lain. Beliau mengatakan bahwa dengan tafakkur terhadap hal tersebut akan lahir ma’rifah kepada allah sebagaimana kita ketahui bahwa ketika kita beribadah tanpa mengetahui kepada siapa kita beribadah dan seperti apa dzat yang maha suci tersebut maka akan sia- sia saja ibadah tersebut.
Kedua tafakkur terhadap kebahagiaan dan nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita. Yaitu dengan merenungkan seluruh nikmat yang telah diberikan sudahkah kita mensyukurinya, sudahkah kita gunakan dengan baik hingga dapat bermanfaat bagi orang lain. Beliau mengatakan bahwa dengan tafakkur terhadap nikmat tersebut akan lahir mahabbah dengan lahirnya mahabbah ini kita akan semakin cinta kepada Allah Ta’ala dan ingin selalu dekat dengan-Nya. Bahkan kita akan selalu mencintai seluruh makhluk Allah karena seluruhnya itu merupakan manifestasi dari wujud Allah.
Kemudian yang ketiga tafakkur pada janji Allah, dan pahala yang akan diberikan bagi orang yang layak mendapatkannya. Yaitu dengan merenungkan apakah kita pantas untu mendapatkan janji tersebut dengan kualitas penghambaan kita yang sekarang ini, dengan keadaan diri kita yang seperti ini apakah memungkinkan untuk memperoleh pahala yang dijanjikan tersebut ataukah justru sebaliknya kita akan jatuh tersungkur kedalam siksa yang sangat pedih akibat perbuatan kita. Muhammad Madhi berkata bahwa dengan bertafakkur terhadap hal tersebut akan lahir ar raja’(harapan) dengan lahirnya ar raja’ dalam diri kita maka kita akan selalu ingin mendekatkan dri kepada Allah dan berbuat yang terbaik agar kita menjadi salah satu manusia yang layak untuk mendapatkan janji Allah yang sangat besar dan mulia tersebut.
Kemudian yang keempat bertafakkur pada adzab yang akan diberikan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah. Yaitu dengan merenungkan siksaan yang akan didapatkan bagi yang bermaksiat, yang ingkar terhadap perintahnya. Dengan merenungkan adzab tersebut akan lahir al khauf. Dengan lahirnya Al Khauf tadi maka kita akan senantiasa berupaya untuk tidak jatuh dan terjerumus dalam hal- hal yang dapat menjadikan kita sebagai orang yang menentang perintah Allah dan yang berbuat pada-Nya hingga mewajibkan kita untuk merasakan kepedihan adzab-Nya yang pedih.
Kemudian tingkatan yang terakhir yaitu yang kelima tafakkur pada ketulusan dan keikhlasan diri berbarengan dengan kebaikan Allah Ta’ala pada diri kita. Yaitu dengan merenungkan keikhlasan kita terhadap Allah Ta’ala, apakah dalam proses penghambaan kita pada-Nya kita benar- benar menyadari bahwa Dialah yang maha suci dari segalanya dan patut disembah, ataukah kita melakukan penyembahan kepada-Nya hanya karena semata- mata kenikmatan yang dijanjikan oleh-Nya ketika kita melakukan ibadah. Karena perlu diketahui bahwa apalah artinya hidup kita di hadapan Allah kita hanya seperti sebutir pasir yang ada di tengah padang pasir yang luas, Dialah yang memberikan kenikmatan kepada seorang hamba tanpa mengharapkan balasan dari hambanya tersebut.
Lantas apakah kita akan menyembah-Nya hanya mengharapkan nikmat yang akan diberikan kelak tidak cukupkah kita dengan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita, pernahkah kita berpikir masih banyak orang yang kualitas spritualnya jauh lebih baik disbanding kita yang benar- benar tulus menyembah Allah karena dia menyadari bahwa dia adalah seorang hamba yang sangat kecil disbanding Allah. Sementara kita dengan kualitas spiritual yang seperti ini masih juga tidak menyadari hal tersebut? Maka dengan merenungkan hal tersebut akan lahir al haya’ yaitu kita malu dengan keadaan kita sekarang dengan segala nikmat yang telah diberikan tapi kita seolah- olah tidak merasakan semuanya. Dengan demikian kita akn senantiasa malu dengan diri sendiri terhadap Allah yang Maha Pengasih dan akan mencoba selalu ikhlas dalam beribadah.
Dengan demikian telah jelas bahwa betapa besarnya makna tafakkur. Sebagaimana ungkapan dalam kitab mizanul hikmah
لا عبادة كالتفكر
“Tidak ada lagi ibadah seperti tafakkur”
Ungkapan ini menunjukkan betapa tinggi keutamaan tafakkur dibanding ibadah yang lain.
Hurufnya terlalu kecil bozz..
BalasHapusafwan shab... ntar ane bsarin lagi thanks bwt sarannya...
BalasHapus